“Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya…”
Muslimpreneur..
Berbisnis tidak semata bicara asset yang nampak (tangible asset) seperti seberapa besar modal kerjanya, semewah apa mobilnya, semegah apa kantornya, semeriah apa launching produknya. Namun yang tidak kalah penting adalah asset yang tidak tampak (intangible asset). Dan reputasi adalah salah satu intangible asset dalam bisnis yang nilainya bisa jadi berkali-kali lipat lebih besar jika dibandingkan dengan modal fisik berupa harta. Itu jika anda punya reputasi dan kredibilitas yang bagus.
The Power of Credibility
Membangun reputasi bisnis membutuhkan proses yang cukup panjang, bahkan bisa berbilang tahun. Orang bisa ‘berdarah-darah’ dalam membangunnya. Saking sulitnya agar menjadi sosok dengan reputasi terpercaya, ada yang mengatakan kepala jadi kaki dan kaki seolah-olah jadi kepala. Uniknya, untuk meruntuhkannya terkadang tidak diperlukan waktu yang lama, cukup sekejab saja. Oleh karenanya menjadi sangat penting bagi kita, para pebisnis muslim, membangun reputasi, memupuk kredibilitas, berusaha menjaganya dan terus berupaya meningkatkannya. Lantas, bagaimana caranya? tentu dengan mengenali, memahami dan melakukan hal-hal yang bisa menumbuhkan kredibilitas itu sendiri. Demikian pula sebaliknya, ketika kredibilitas mulai dipertanyakan, hal ini harus dipandang sebagai rambu-rambu dan sinyal berbahaya yang harus segera diperbaiki baik bagi diri maupun bagi organisasi.
Pertanyaan berikut barangkali bisa membantu untuk menguatkan arti penting reputasi dan kredibilitas di dunia bisnis :
Masih bersediakah anda membeli produk (makanan atau minuman) yang beberapa waktu sebelumnya gencar diberitakan mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan?
Masih bersediakah anda berobat ke Rumah Sakit yang beberapa dokter prakteknya berulangkali terbukti melakukan malpraktek terhadap pasien-pasiennya?
Masih bersediakah anda meminjamkan uang kepada seseorang yang terkenal sebagaiahlul ngemplang hutang sementara anda dan kawan anda beberapa kali menjadi korbannya?
Masih bersediakah anda membangun bisnis dengan seseorang yang walau mengaku profesional dibidangnya namun kenyataannya selalu saja gagal dalam membangun bisnis?
Masih bersediakah anda bermitra bisnis dengan seseorang yang dari tampilan fisiknya terlihat alim dan sholih namun faktanya terbukti sebagai penipu ulung dan tidak bisa dipercaya?
Cukuplah sabda Rasulullah SAW berikut sebagai peringatan. “Seorang mukmin tidak boleh terjatuh dalam lubang yang sama dua kali.” [HR Ahmad dan ad-Darimi]. Disisi lain, sangatlah beralasan ketika suatu perusahaan besar merasa galau dan panik ketika (misalnya) ada konsumennya yang berkeluh kesah dan menuangkannya dalam surat pembaca yang dimuat di sebuah media nasional. Juga, sangatlah bisa dimengerti kenapa seorang pemimpin enggan tampil apa adanya dan lebih memilih memakai ‘topeng’ dengan target pencitraan dirinya tetap terjaga. Tidak lain dan tidak bukan karena mereka memahami bahwa reputasi, kredibilitas, brand adalah harga diri dan harga mati yang harus selalu dijaga.
Bagaimana Membangun Reputasi ?
Banyak orang terlanjur percaya bahwa untuk menjadi sukses dalam berbisnis, mereka harus memiliki keahlian specifik dan technical skill. Tetapi faktanya, banyak orang yang pintar dan ahli di bidang tertentu ternyata tidak kunjung sukses membangun bisnisnya. Seorang yang jago meracik masakan lezat belum tentu sukses ketika dia memutuskan keluar kerja lalu membangun restorannya sendiri. Seorang penulis hebat belum tentu bisa sukses ketika dia memutuskan menerbitkan sendiri karyanya dengan mendirikan perusahaan penerbitan. Karena mengelola bisnis rumah makan tidaklah sekedar yang penting bisa meracik makanan enak. Karena mengelola bisnis penerbitan tidaklah sekedar yang penting bisa nulis naskah. Kenapa? Karena untuk membangun dan mengelola bisnis, yang anda perlukan adalah business skill dan itu sangat berbeda dengantechnical skill. Apalagi kalau anda menganggap bahwa skill adalah satu-satunya faktor meraih sukses dalam berbisnis. Tentu saja tidak. Diperlukan beberapa faktor lain dalam meraih kesuksesan berbisnis dan satu diantaranya adalah track record.
Qimah berbisnis adalah materi, sementara menjaganya dengan integrity atau akhlak. Dalam dunia bisnis berlaku kaidah Business love track record dan money follow track record. Jejak rekam kita juga bisa menjadi faktor penentu yang akan dilihat mitra bisnis kita, apakah kita bisa delivier result atau sekadar delivier activity. Apakah terlihat sibuk mondar mandir seolah-olah bekerja keras tapi tidak menghasilkan apa-apa, ataukah terlihat tidak begitu sibuk namun justru menghasilkan sesuatu yang signifikan. Jika track record bisnis kita terbukti menghasilkan profit dan benefit, tentu reputasi baik akan kita dapatkan. Namun jika rekam jejak bisnis anda selalu rugi, pailit, bangkrut dan tidak menghasilkan apa-apa, bagaimana orang masih percaya kepada anda?
Reputasi yang anda bangun adalah jejak kehidupan yang merupakan intangible asset. Seberapa besar intangible asset anda sangat tergantung dengan reputasi yang telah anda bangun, dan waktu yang diperlukan untuk membangunnya adalah sedemikian lama. Oleh karena itu, jika ada bisnis yang menawarkan kesuksesan secara instan dan kekayaan secara mendadak, sebaiknya anda patut untuk waspada dan berhati-hati. Nah, untuk urusan membangun reputasi jempolan, Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabatnya adalah sebaik-baik suri tauladan dalam hal ini. Bahkan sebelum diangkat menjadi Nabi, Muhammad SAW adalah seseorang pebisnis dengan reputasi mengagumkan sehingga gelar al-amin pun disematkan kepadanya. Demikian juga sahabat Abdurrahman bin Auf r.a. Ketika perintah hijrah turun dan beliau harus meninggalkan semua harta dan bisnisnya karena turut serta berhijrah ke Madinah, dalam waktu singkat beliau berhasil membangun kembali bisnis sesampainya di Madinah. Tepat sekali sebagaimana hasil survey bisnis yang menyatakan, “Jika anda pernah sukses membangun bisnis, maka peluang anda membangun bisnis baru kemungkinan berhasilnya adalah 80%”.
Dalam kehidupan sehari-hari, bukankah kita sering menyaksikan seorang tokoh yang walaupun hanya memiliki sedikit asset fisik (tangible asset) berupa rumah yang sederhana, kantor yang kecil, bisnis yang skalanya masih UKM, kendaraan yang lawas, namun setiap ucapan, petuah, nasehat dan tutur katanya mampu menggugah dan selalu dinantikan dan ikuti ummatnya. Ketika sang tokoh menyarankan pengumpulan dana sosial (misalnya) ataupun bahkan dana untuk bisnis, takjarang terkumpul sekian banyak dana dalam waktu singkat. Ketika sang tokoh merekomendasikan nama seseorang, seketika banyak orang juga mempercayainya. Pun ketika sang tokoh meninggal, yang melayat ribuan orang dan bahkan saling berebut mengusung keranda jenazahnya. Ini karena intangible asset sang tokoh tersebut jauh lebih besar dari pada tangible asset-nya. Dalam kontek bisnis, walaupun asset fisik suatu perusahaan (misal) hanya sejumlah Rp 1 Milyar, tapi banyak orang yang berani membeli perusahaan tersebut senilai Rp 10 Milyar. Boleh jadi nilai tambahnya berupa reputasi yang bagus berupa SDM yang mumpuni dan budaya perusahaan yang positif. Luar biasa bukan?
Disisi lain, banyak juga orang yang tangible asset-nya jauh lebih rendah dibanding denganintangible asset-nya. Walaupun dia memiliki kekayaan yang berlimpah, hidupnya serba wah, bergelimang rupiah, bermobil mewah, berkantor megah, namun memiliki memiliki mental bromocorah, ini pertanda si orang tersebut tidak peduli pada intangible asset-nya. Nah, yang lebih parah lagi adalah ketika asset yang nampak maupun yang tidak nampak kedua-duanya negatif, minus dan ancur-ancuran. Sudahlah tidak memiliki tangible asset alias kismin, intangible asset-nya pun tidak berusaha dipupuknya. Orang semacam ini adalah type manusia yang dimurkai Allah sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Tiga golongan manusia yang dimurkai Allah (salah satunya) adalah orang miskin yang sombong.” [HR Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban]. Ibarat perusahaan diambang pailit, sudahlah asset fisiknya sedikit, tidak pernah profit dan selalu defisit, mental orang-orangnya pun bermental parasit.
Lantas, bagaimana dengan anda?
(ust. rosyidi aziz)
No comments:
Post a Comment