Friday, 18 October 2013

Memperlakukan Uang

Anda ingin beruang? Maksud saya, punya banyak uang, baik dan berkah?  Ada caranya. Murah dan mudah, namun agak tidak lumrah.  Yang utama adalah mengubah mindset kita tentang uang. Anggaplah uang itu “hidup”, bisa berteman dan bersosialisasi sebagaimana kita. Dan perlakukan dia dengan baik.

Jika uang sedang “istirahat” di dompet kita, atur dia yang baik. Luruskan dan rapikan, seperti petugas bank memperlakukannya. Uang seratus ribu disatukan dengan seratus ribu, dan lima puluh ribu dengan lima puluh ribu. Angka dengan angka, gambar dengan gambar, dan kepala dengan kepala.

Jika kita memperlakukan uang seperti itu, maka dia akan merasa nyaman, senang dan bahagia di dompet kita. Dia kerasan. Jika kita membelanjakannya, dia akan woro-woro, membuat pengumuman kepada teman-temannya sesama uang besar.  Tidak itu saja, dia juga akan mempengaruhi dan mengajak teman-temannya, uang seratus dan lima puluh ribu, untuk mampir ke dompet kita. Dia akan promosi bahwa dompet kita adalah rumah yang aman, nyaman,  yang  full AC dan full audio. Kulkas juga ada. Makanya, pastikan uang di dompet kita cuma cepek dan goban, dua pecahan rupiah terbesar. Kenapa? Karena umumnya uang cepek bersahabat  baik dengan cepek, dan uang goban suka ber-soulmatedengan goban. So yang akan mereka ajak juga uang besar. Kalau kita menyimpan uang seribu dan coin, dia juga akan mengajak sesama uang receh. Bahaya. Dompet kita bisa penuh tapi cuma isi uang seribu dan coin.

Trus, bagaimana dengan  pecahan dua puluh ribu rupiah ke bawah? Gampang. Berapapun, taruh di laci mobil. Itu untuk jatah sedekah kepada pengemis dan pengamen. Juga untuk uang parkir dan bayar tol. Sedekah kok uang receh? Siapa bilang?! Karena uang di dompet kita hanya bilangan seratus dan lima puluh ribu, maka ketika shalat di masjid, bertemu cleaning service, room boy atau tergerak sewaktu-waktu kepada orang yang membutuhkan di jalan, sedekahnya pasti minimal lima puluh rebu! Mosok laci mobil mau dibawa kemana-mana? Yang bener ajja.

Dan, jangan sekali-sekali menyimpan uang di dompet secara berantakan dan campur baur. Kaki disatukan dengan kepala, gambar dengan angka, seratus ribu dengan seribu dan dua ribu. Bisa pusing dia. Mengamuk. Jika keluar dompet, dia tidak mau kembali lagi kepada kita. Kapok.

Jika dompet kita sedang kosong blong alias tongpes, tenang saja. Tetap santai. Cool, calm and confidence. Bayangkan saja, kita sedang hadir di acara jamuan makan atau resepsi sebagai undangan VVIP.  Di meja kita ada 5 orang. Diberi minuman segelas penuh. Diantara 5 orang itu ada 2 yang sudah minum habis, yaitu kita dan teman sebelah. 3 yang lain masih penuh, belum diminum sama sekali. Kemudian lewatlah seorang pelayan cantik di depan meja kita. Begitu sang pelayan melihat meja kita, dia menawari minuman tambahan. Pertanyaannya: Siapa yg ditawari, yang gelasnya sudah habis atau yang masih penuh?Tentu saja yang sudah kosong. So, ketika dompet kita sedang kosong, pikirkan dan katakan kepada diri kita sendiri: “Sebentar lagi, pasti ada yang menawari uang”.

Kalau mau kreatif sedikit, pas momentum yang tepat, misalnya ketika sedang bersua pengemis tua yang buta dan kelaparan, silakan curhat kepada Tuhan: “Ya Tuhan, kasihan sekali Pak Tua itu. Tapi, beginilah kalau saya tidak punya uang. Tidak kuasa membantu sesama".

Kalau mau lebih powerful, siapkan kota amal di dekat tempat tidur. Begitu bangun pagi, langsung take action sedekah minimal lima puluh ribu rupiah.  Soal distribusinya kepada fakir miskin, anak yatim dll, itu mudah. Bisa besuk, lusa, sepekan atau sebulan kemudian. Yang jelas itu uang sedekah, dan sudah bukan uang kita lagi.

 Pesan saya, mohon agar selalu tetap diingat. Kita, manusia, adalah makhluk (ciptaan) Tuhan yang paling mulia. Manusia lebih mulia daripada jin dan syetan, hewan dan tumbuhan. Juga jauh lebih mulia daripada alam, gunung, laut dan batu. Dan uang itu bukan ciptaan Tuhan, tapi ciptaan manusia. Tentulah derajat ciptaan manusia jauh lebih rendah daripada ciptaan Tuhan. Maka, derajat uang itu juga jauh lebih rendah daripada batu dan besi. So, jangan pernah mau diperbudak uang.

Tuhan (Khaliq) tidak membutuhkan manusia (makhluq), tapi manusialah yang membutuhkan Tuhan. Logikanya, manusia (pencipta) tidak membutuhkan uang (yang dicipta), tapi uanglah yang membutuhkan manusia.  Maka jangan tempatkan uang di hati, tapi di tangan. Dan jangan jadikan uang sebagai tujuan, tapi sekedar sarana. Sarana untuk berbuat baik: untuk zakat, sedekah, memberi nafkah kepada keluarga, dll kebajikan. Wallaahu a’lam (yahya amin)

Wednesday, 9 October 2013

Jeritan Seorang Perawan Tua

Fenomena bertambahnya jumlah wanita yang terlambat menikah (perawan tua) menjadi satu perkara yang menakutkan saat ini, mengancam kebanyakan pemudi-pemudi di masyarakat kita yang Islami, bahkan di seluruh dunia.
Majalah Al-Usrah edisi 80 Dzulqa’dah 1420 H menuliskan jeritan seorang perawan tua dari Madinah Munawaroh,”Semula saya sangat bimbang sebelum menulis untuk kalian karena ketakutan terhadap kaum wanita karena saya tahu bahwasanya mereka akan mengatakan bahwa aku ini sudah gila, atau kesurupan. Akan tetapi, realita yang aku alami dan dialami pula oleh sejumlah besar perawan-perawan tua, yang tidak seorang pun mengetahuinya, membuatku memberanikan diri. Saya akan menuliskan kisahku ini dengan ringkas.
Ketika umurku mulai mendekati 20 tahun, saya seperti gadis lainnya memimpikan seorang pemuda yang multazim dan berakhlak mulia. Dahulu saya membangun pemikiran serta harapan-harapan; bagaimana kami hidup nanti dan bagaimana kami mendidik anak-anak kami… dan.. dan…
Saya adalah salah seorang yang sangat memerangi ta’adud (poligami). Hanya semata mendengar orang berkata kepadaku, “Fulan menikah lagi yang kedua”, tanpa sadar saya mendoakan agar ia celaka. Saya berkata, “Kalau saya adalah istrinya -yang pertama- pastilah saya akan mencampakkannya, sebagaimana ia telah mencampakkanku’. Saya sering berdiskusi dengan saudaraku dan terkadang dengan pamanku mengenai masalah ta’addud. Mereka berusaha agar saya mau menerima ta’addud, sementara saya tetap keras kepala tidak mau menerima syari’at ta’addud. Saya katakan kepada mereka, ‘Mustahil wanita lain akan bersama denganku mendampingi suamiku”. Terkadang saya menjadi penyebab munculnya problema-problema antara suami-istri karena ia ingin memadu istri pertamanya; saya menghasutnya sehingga ia melawan kepada suaminya.
Begitulah, hari terus berlalu sedangkan saya masih menanti pemuda impian. Saya menanti… akan tetapi ia belum juga datang dan saya masih terus menanti. Hampir 30 tahun umur saya dalam penantian. Telah lewat 30 tahun… oh Illahi, apa yang harus saya perbuat? Apakah saya harus keluar untuk mencari pengantin laki-laki? Saya tidak sanggup, orang-orang akan berkata wanita ini tidak punya malu. Jadi, apa yang akan saya kerjakan? Tidak ada yang bisa saya perbuat, selain dari menunggu.
Pada suatu hari ketika saya sedang duduk-duduk, saya mendengar salah seorang dari wanita berkata, ‘Fulanah jadi perawan tua”. Saya berkata kepada diri sendiri, “Kasihan Fulanah jadi perawan tua”, akan tetapi, Fulanah yang dimaksud itu ternyata saya. Ya Illahi! Sesungguhnya itu adalah nama saya. Saya telah menjadi perawan tua. Bagaimanapun saya melukiskannya kepada kalian, kalian tidak akan bisa merasakannya. Saya dihadapkan pada sebuah kenyataan sebagai perawan tua. Saya mulai mengulang kembali perhitungan-perhitungan, apa yang saya kerjakan?
Waktu terus berlalu, hari silih berganti, dan saya ingin menjerit. Saya ingin seorang suami, seorang laki-laki tempat saya bernaung di bawah naungannya, membantu saya menyelesaikan problema-problema. Saudaraku yang laki-laki memang tidak melalaikanku sedikit pun, tetapi dia bukan seperti seorang suami. Saya ingin hidup; ingin melahirkan, dan menikmati kehidupan. Akan tetapi, saya tidak sanggup mengucapkan perkataan ini kepada kaum laki-laki. Mereka akan mengatakan, “Wanita ini tidak malu”. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain daripada diam. Saya tertawa, akan tetapi bukan dari hati. Apakah kalian ingin saya tertawa, sedangkan tangan menggenggam bara api? Saya tidak sanggup.
Suatu hari, saudara saya yang paling besar mendatangi dan berkata, “Hari ini telah datang calon pengantin, tapi saya menolaknya…” Tanpa terasa saya berkata, “Kenapa kamu lakukan? Itu tidak boleh!” Ia berkata kepadaku, “Dikarenakan ia menginginkanmu sebagai istri kedua, dan saya tahu kalau kamu sangat memerangi ta’addud (poligami)”. Hampir saja saya berteriak di hadapannya, “Kenapa kamu tidak menyetujuinya?” Saya rela menjadi istri kedua, atau ketiga, atau keempat. Kedua tangan saya di dalam api. Saya setuju, ya saya yang dulu memerangi ta’addud, sekarang menerimanya. Saudara saya berkata, “Sudah terlambat”
Sekarang saya mengetahui hikmah dalam ta’addud. Satu hikmah ini telah membuat saya menerima, bagaimana dengan hikmah-hikmah yang lain? Ya Allah, ampunilah dosaku. Sesungguhnya saya dahulu tidak mengetahui. Kata-kata ini saya tujukan untuk kaum laki-laki, “Berta’addud-lah, nikahilah satu, dua, tiga, atau empat dengan syarat mampu dan adil. Saya ingatkan kalian dengan firman-Nya, “..Maka nikahilah olehmu apa yang baik bagimu dari wanita, dua, atau tiga, atau empat, maka jika kalian takut tidak mampu berlaku adil, maka satu..” Selamatkanlah kami. Kami adalah manusia seperti kalian, merasakan juga kepedihan. Tutupilah kami, kasihanilah kami.”
Dan kata-kata berikut saya tujukan kepada saudariku muslimah yang telah bersuami, “Syukurilah nikmat ini karena kamu tidak merasakan panasnya api menjadi perawan tua. Saya harap kamu tidak marah apabila suamimu ingin menikah lagi dengan wanita lain. Janganlah kamu mencegahnya, akan tetapi doronglah ia. Saya tahu bahwa ini sangat berat atasmu. Akan tetapi, harapkanlah pahala di sisi Allah. Lihatlah keadaan suadarimu yang menjadi perawan tua, wanita yang dicerai, dan janda yang ditinggal mati; siapa yang akan mengayomi mereka? Anggaplah ia saudarimu, kamu pasti akan mendapatkan pahala yang sangat besar dengan kesabaranmu”
Engkau mungkin mengatakan kepadaku, “Akan datang seorang bujangan yang akan menikahinya”. Saya katakan kepadamu, “Lihatlah sensus penduduk. Sesungguhnya jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki. Jika setiap laki-laki menikah dengan satu wanita, niscaya banyak dari wanita-wanita kita yang menjadi perawan tua. Jangan hanya memikirkan diri sendiri saja. Akan tetapi, pikirkan juga saudarimu. Anggaplah dirimu berada dalam posisinya”.
Engkau mungkin juga mengatakan, “Semua itu tidak penting bagiku, yang penting suamiku tidak menikah lagi.” Saya katakan kepadamu, “Tangan yang berada di air tidak seperti tangan yang berada di bara api. Ini mungkin terjadi. Jika suamimu menikah lagi dengan wanita lain, ketahuilah bahwasanya dunia ini adalah fana, akhiratlah yang kekal. Janganlah kamu egois, dan janganlah kamu halangi saudarimu dari nikmat ini. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri”. (1)
Demi ALlah, kalau kamu merasakan api menjadi perawan tua, kemudian kamu menikah, kamu pasti akan berkata kepada suamimu “Menikahlah dengan saudariku dan jagalah ia”. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu kemuliaan, kesucian, dan suami yang shalih”
Oleh: A.A.N, Madinah

Tuesday, 8 October 2013

TEKNOLOGI KEADILAN -- BENARKAH KEADILAN ITU JELAS & SEDERHANA?

Semua orang cinta keadilan.
Semua konstitusi di dunia mencantumkan keadilan.
Tetapi apakah makna "keadilan" itu sendiri sesungguhnya jelas & sederhana?

Mari kita coba dengan sebuah test-case berikut:
"Kalau Anda jadi ketua DKM, terus ada bantuan dari seorang aghniya pecinta umat - misalnya uang Rp. 100 juta - untuk dibagikan ke jama'ah masjid, maka menurut Anda, yang adil membaginya itu bagaimana?"

Untuk satu pertanyaan sederhana ini, ternyata ada banyak jawaban:

1. Bagi rata saja uang itu ke jama'ah yang hadir di masjid.
    Jadi kalau sewaktu sholat shubuh ada 40 orang, kasih masing-masing Rp. 2,5 juta".

2. Bagi rata saja uang itu ke jama'ah yang khusus diundang.
    Jadi pada hari yang ditentukan, orang-orang tertentu diundang untuk sholat shubuh.
    Nah di situ dibagi rata .... he he ...
    Kalau biasanya yang sholat jama'ah cuma 40, dengan undangan itu jadi 100.
    Jadi tiap orang dapat Rp 1 jt.

3. Bagi rata/tidak rata uang itu sesuai dengan perannya di masyarakat.
    Di masyarakat itu kan macam-macam, ada yang pengabdiannya besar, sedang, rata-rata dsb.
    Jadi yang besar (misal pak ketua DKM, pak imam, pak khatib) kasih lebih banyak,     lalu berikutnya muadzin, pak marbot, dst.  Baru jama'ah yang tak punya tugas khusus.

4. Bagi tidak rata, tetapi rata menurut blok-nya.
    Jadi karena jama'ah masjid ini berasal dari 5 RT, maka per RT-nya kasih Rp. 20 juta.
    Nanti dari setiap bloknya itu gimana mbaginya, terserah mereka.
    Jadi RT-1 yang jama'ahnya paling banyak, dapatnya lebih kecil,
    Sedang RT-5 yang jama'ahnya paling sedikit, jadi dapat insentif.

5. Bagi tidak rata, tetapi hasilnya memeratakan pendapatan.
    Jadi dilihat, yang masih dhuafa, kasih banyak.  
    Yang sudah kaya, kasih sedikit saja, atau tidak sama sekali.
    Padahal sama-sama jama'ah masjid.

6. Bagi tidak rata, tetapi memiliki nilai yang sama.
    Jadi, yang masih perlu bayar utang, atau berobat, kasih lebih banyak.
    Sedang yang lebih penting dzikir, tidak usahlah, dia kan uang tidak ada nilainya.

7. Bagi tidak rata, tetapi semua memiliki starting point yang sama.
    Jadi, uang ditaruh di tengah masjid, jama'ah suruh berdiri di pinggir pada jarak yang sama.
    Lalu dengan teriakan takbir, semua silakan berebut ...  Tentu saja kompetisi ini bisa dilakukan dengan cara yang berbeda, misalnya dari tempat duduk di shaf berapa, jumlah ayat baru yang dihafal dalam seminggu terakhir, dsb.

8. Bagi tidak rata, tetapi semua dengan peluang statistik yang sama.
    Artinya, setiap jama'ah dikasih kertas undian, lalu diundi.
    Hanya yang keluar nomornya di 3 penarikan pertama akan dapat uang.

9. Bagi tidak rata, tetapi semua memiliki suara yang sama.
    Serahkan urusan pembagian pada satu orang.
    Satu orang itu kita pilih dengan voting.

....

Inilah fakta "keadilan" di dunia nyata ...
Mungkin Anda akan bisa mengidentifikasi, bahwa teknis mewujudkan keadilan (EQUITY TECHNOLOGY) ini di berbagai keadaan nyata, misalnya membagi kekayaan sumberdaya alam, membagi beban anggaran, membagi ekosistem planet bumi (oksigen, carbon), dsb.

Monday, 7 October 2013

REPUTASI adalah INTANGIBLE ASSET

“Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya…” 

Muslimpreneur..
Berbisnis tidak semata bicara asset yang nampak (tangible asset) seperti seberapa besar modal kerjanya, semewah apa mobilnya, semegah apa kantornya, semeriah apa launching produknya. Namun yang tidak kalah penting adalah asset yang tidak tampak (intangible asset). Dan reputasi adalah salah satu intangible asset dalam bisnis yang nilainya bisa jadi berkali-kali lipat lebih besar jika dibandingkan dengan modal fisik berupa harta. Itu jika anda punya reputasi dan kredibilitas yang bagus.

The Power of Credibility
                Membangun reputasi bisnis membutuhkan proses yang cukup panjang, bahkan bisa berbilang tahun. Orang bisa ‘berdarah-darah’ dalam membangunnya. Saking sulitnya agar menjadi sosok dengan reputasi terpercaya, ada yang mengatakan kepala jadi kaki dan kaki seolah-olah jadi kepala. Uniknya, untuk meruntuhkannya terkadang tidak diperlukan waktu yang lama, cukup sekejab saja. Oleh karenanya menjadi sangat penting bagi kita, para pebisnis muslim, membangun reputasi, memupuk kredibilitas, berusaha menjaganya dan terus berupaya meningkatkannya. Lantas, bagaimana caranya? tentu dengan mengenali, memahami dan melakukan hal-hal yang bisa menumbuhkan kredibilitas itu sendiri. Demikian pula sebaliknya, ketika kredibilitas mulai dipertanyakan, hal ini harus dipandang sebagai rambu-rambu dan sinyal berbahaya yang harus segera diperbaiki baik bagi diri maupun bagi organisasi.
                Pertanyaan berikut barangkali bisa membantu untuk menguatkan arti penting reputasi dan kredibilitas di dunia bisnis :
Masih bersediakah anda membeli produk (makanan atau minuman) yang beberapa waktu sebelumnya gencar diberitakan mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan?
Masih bersediakah anda berobat ke Rumah Sakit yang beberapa dokter prakteknya berulangkali terbukti melakukan malpraktek terhadap pasien-pasiennya?
Masih bersediakah anda meminjamkan uang kepada seseorang yang terkenal sebagaiahlul ngemplang hutang sementara anda dan kawan anda beberapa kali menjadi korbannya?
Masih bersediakah anda membangun bisnis dengan seseorang yang walau mengaku profesional dibidangnya namun kenyataannya selalu saja gagal dalam membangun bisnis?
Masih bersediakah anda bermitra bisnis dengan seseorang yang dari tampilan fisiknya terlihat alim dan sholih namun faktanya terbukti sebagai penipu ulung dan tidak bisa dipercaya?
Cukuplah sabda Rasulullah SAW berikut sebagai peringatan. “Seorang mukmin tidak boleh terjatuh dalam lubang yang sama dua kali.” [HR Ahmad dan ad-Darimi]. Disisi lain, sangatlah beralasan ketika suatu perusahaan besar merasa galau dan panik ketika (misalnya) ada konsumennya yang berkeluh kesah dan menuangkannya dalam surat pembaca yang dimuat di sebuah media nasional. Juga, sangatlah bisa dimengerti kenapa seorang pemimpin enggan tampil apa adanya dan lebih memilih memakai ‘topeng’ dengan target pencitraan dirinya tetap terjaga. Tidak lain dan tidak bukan karena mereka memahami bahwa reputasi, kredibilitas, brand adalah harga diri dan harga mati yang harus selalu dijaga.

Bagaimana Membangun Reputasi ?
                Banyak orang terlanjur percaya bahwa untuk menjadi sukses dalam berbisnis, mereka harus memiliki keahlian specifik dan technical skill. Tetapi faktanya, banyak orang yang pintar dan ahli di bidang tertentu ternyata tidak kunjung sukses membangun bisnisnya. Seorang yang jago meracik masakan lezat belum tentu sukses ketika dia memutuskan keluar kerja lalu membangun restorannya sendiri. Seorang penulis hebat belum tentu bisa sukses ketika dia memutuskan menerbitkan sendiri karyanya dengan mendirikan perusahaan penerbitan. Karena mengelola bisnis rumah makan tidaklah sekedar yang penting bisa meracik makanan enak. Karena mengelola bisnis penerbitan tidaklah sekedar yang penting bisa nulis naskah. Kenapa? Karena untuk membangun dan mengelola bisnis, yang anda perlukan adalah business skill dan itu sangat berbeda dengantechnical skill. Apalagi kalau anda menganggap bahwa skill adalah satu-satunya faktor meraih sukses dalam berbisnis. Tentu saja tidak. Diperlukan beberapa faktor lain dalam meraih kesuksesan berbisnis dan satu diantaranya adalah track record.
Qimah berbisnis adalah materi, sementara menjaganya dengan integrity atau akhlak. Dalam dunia bisnis berlaku kaidah Business love track record dan money follow track record.  Jejak rekam kita juga bisa menjadi faktor penentu yang akan dilihat mitra bisnis kita, apakah kita bisa delivier result atau sekadar delivier activity. Apakah terlihat sibuk mondar mandir seolah-olah bekerja keras tapi tidak menghasilkan apa-apa, ataukah terlihat tidak begitu sibuk namun justru menghasilkan sesuatu yang signifikan. Jika track record bisnis kita terbukti menghasilkan profit dan benefit, tentu reputasi baik akan kita dapatkan. Namun jika rekam jejak bisnis anda selalu rugi, pailit, bangkrut dan tidak menghasilkan apa-apa, bagaimana orang masih percaya kepada anda?
Reputasi yang anda bangun adalah jejak kehidupan yang merupakan intangible asset.  Seberapa besar intangible asset anda sangat tergantung dengan reputasi yang telah anda bangun, dan waktu yang diperlukan untuk membangunnya adalah sedemikian lama. Oleh karena itu, jika ada bisnis yang menawarkan kesuksesan secara instan dan kekayaan secara mendadak, sebaiknya anda patut untuk waspada dan berhati-hati. Nah, untuk urusan membangun reputasi jempolan, Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabatnya adalah sebaik-baik suri tauladan dalam hal ini. Bahkan sebelum diangkat menjadi Nabi, Muhammad SAW adalah seseorang pebisnis dengan reputasi mengagumkan sehingga gelar al-amin pun disematkan kepadanya. Demikian juga sahabat Abdurrahman bin Auf r.a.  Ketika perintah hijrah turun dan beliau harus meninggalkan semua harta dan bisnisnya karena turut serta berhijrah ke Madinah, dalam waktu singkat beliau berhasil membangun kembali bisnis sesampainya di Madinah. Tepat sekali sebagaimana hasil survey bisnis yang menyatakan, “Jika anda pernah sukses membangun bisnis, maka peluang anda membangun bisnis baru kemungkinan berhasilnya adalah 80%”.
Dalam kehidupan sehari-hari, bukankah kita sering menyaksikan seorang tokoh yang walaupun hanya memiliki sedikit asset fisik (tangible asset) berupa rumah yang sederhana, kantor yang kecil, bisnis yang skalanya masih UKM, kendaraan yang lawas,  namun setiap ucapan, petuah, nasehat dan tutur katanya mampu menggugah dan selalu dinantikan dan ikuti ummatnya. Ketika sang tokoh menyarankan pengumpulan dana sosial (misalnya) ataupun bahkan dana untuk bisnis, takjarang terkumpul sekian banyak dana dalam waktu singkat. Ketika sang tokoh merekomendasikan nama seseorang, seketika banyak orang juga mempercayainya. Pun ketika sang tokoh meninggal, yang melayat ribuan orang dan bahkan saling berebut mengusung keranda jenazahnya. Ini karena intangible asset sang tokoh tersebut jauh lebih besar dari pada tangible asset-nya. Dalam kontek bisnis, walaupun asset fisik suatu perusahaan (misal) hanya sejumlah Rp 1 Milyar, tapi banyak orang yang berani membeli perusahaan tersebut senilai Rp 10 Milyar. Boleh jadi nilai tambahnya berupa reputasi yang bagus berupa SDM yang mumpuni dan budaya perusahaan yang positif. Luar biasa bukan?
Disisi lain, banyak juga orang yang tangible asset-nya jauh lebih rendah dibanding denganintangible asset-nya. Walaupun dia memiliki kekayaan yang berlimpah, hidupnya serba wah, bergelimang rupiah, bermobil mewah, berkantor megah, namun memiliki memiliki mental bromocorah, ini pertanda si orang tersebut tidak peduli pada intangible asset-nya. Nah, yang lebih parah lagi adalah ketika asset yang nampak maupun yang tidak nampak kedua-duanya negatif, minus dan ancur-ancuran. Sudahlah tidak memiliki tangible asset alias kismin, intangible asset-nya pun tidak berusaha dipupuknya.   Orang semacam ini adalah type manusia yang dimurkai Allah sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Tiga golongan manusia yang dimurkai Allah (salah satunya) adalah orang miskin yang sombong.” [HR Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban]. Ibarat perusahaan diambang pailit, sudahlah asset fisiknya sedikit, tidak pernah profit dan selalu defisit, mental orang-orangnya pun bermental parasit.

Lantas, bagaimana dengan anda?

(ust. rosyidi aziz)

Catatan Seorang Akhwat

Saudaraku yang dirahmati Allah.. 
Masihkan kita tega berkata “Suamiku I belong to you and you belong to me?”. Sadarilah sepenuhnya bahwa suami adalah milik Allah, bukan milik kita, ia hanya amanah. Bersiap menikah berarti siap untuk dimadu, siap untuk ditinggal mati/syahid, siap menderita, siap menjadi sahabat, siap menjadi partner dalam duka maupun suka, siap segalanya bahkan siap dicerai. Rasanya tidak pantas jika kita telah menyadari bahwa diri kita tidaklah sempurna dihadapan siapapun, termasuk dihadapan suami tercinta. Apalagi sudah faham atas hukum poligami , kemudian mencari-cari alasan dan dalil untuk melarang apalagi mengultimatum suami agar jangan sampai poligami. Mencintai bukan berarti mengekang, mencintai berarti kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Menikah berarti ibadah.

Bukankah kita diutamakan untuk peduli dan mengutamakan saudara kita? Bukankah pengorbanan di jalan Allah itu pahalanya sangat besar
Bukankah pengorbanan berarti memberi atau merelakan apa yang paling kita cintai dan sayangi untuk Allah, Islam dan saudari kita?
Sadarkah wahai ummahat..
Bahwa ada banyak muslimah lain di luar sana yang ingin menjaga kehormatannya, menjaga kesucian interaksinya dengan lawan jenis, ingin merasakan support dari seorang imam ketika mereka lelah dalam mengarungi hidup dan perjuangan ini?
Mereka merindukan juga belaian kasih sayang yang tulus dari seorang suami yang soleh sebagaimana antunna?
Ummahat,
Bukankah antunna juga pernah merasakan hal yang sama ketika dalam penantian jodoh?
Bukankah ketika antunna merindukan suami antunna pulang, si akhwat lain justru dalam penantian yang tidak jelas. Ketika suami antum pulang belum tentu bisa melayaninya sempurna. Sementara di luar sana ada merindukan untuk melayani? Pilih mana antunna ditinggalkan tanpa tanggung jawab (dicerai) atau berbagi dengan ukhti yang lain yang juga punya hak atas suami antunna?
Kedengarannya kejam dan tega tapi maaf inilah hukum syara’ yang tidak selamanya membuat kita ‘nyaman’ jika tidak disertai keikhlasan yang tinggi.
Begitu banyak akhwat yang punya persyaratan dan minta komitmen khusus kepada suaminya agar tidak mau poligami setelah menikah tapi kenyataan dia tak mampu memberi yang terbaik bagi suaminya. Janganlah jadi wanita egois yang menyakiti suami dan akhwat lain?

Jangan egois saudariku, anggap ahkwat lain sedang dihadapan antunna dan berkata dengan pelan dan linangan air mata,
Ukhty…
Ukhty telah bersuami bukannya prihatin atas nasib kami yang masih dalam penantian, malah justru mencemburui dan membenci kami padahal kami belum tentu bermaksud meminta suami antunna, hanya mengetuk kesadaran dan kepedulian antunna?
Pilih mana, mendengar kabar suami anda menikah lagi karena takut berzina, atau mendengar dia digerebek dalam kos-kosan atau hotel karena sedang in the ‘Hoy’ dengan wanita jalang?
Adakah antunna merasa bahwa antunna turut andil dalam kasus ini?

Pada faktanya, berapa banyak wanita yang dibunuh karena meminta dinikahi sementara si pria sudah punya istri?
Berapa banyak bayi digugurkan karena anak lahir di luar?
Berapa banyak istri ke 2 yang harus dicerai karena monogami yang dipaksakan? Berapa banyak anak yang lahir tanpa bapak?
Berapa banyak generasi yang seharusnya tumbuh normal dalam pengasuhan seorang ayah namun terlantar karena keegoisan sang Ibu yang lebih memilih bercerai daripada dimadu?
Dan banyak lagi fakta lain yang patut kita renungkan.

Bukankah kita semua sudah tau ayat berikut?
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS An-Nur: 30)

Mari kita bantu mereka, bagi anda yang sudah benar-benar siap untuk dimadu, ada baiknya jika anda sendirilah yang mencarikan pasangan yang ideal dan tepat bagi suami anda untuk jadi partner sejati menuju ridho dan Jannah-Nya. Indahnya tak terukir melalui kata-kata jika kita mampu bersama-sama mencintai ia (akhwat) yang suami kita cintai.
Jika menikah karena Allah, semua akan terasa indah. Poligami, cerai atau rujuk semua kan terasa indah. Indah sekali. Jangan tunggu suami melakukan pelanggaran hukum syara baru bertindak bahkan menyesal. Jaga interaksi suami anda dengan perempuan ajnabi dengan menawarkan diri jadi perantara jika memang suami sudah ada kecenderungan ke sana. Jangan hanya bisa terdiam dalam luka, komunikasikanlah dari hati ke hati.
Wahai ukhty..
Ada jannah menanti orang-orang yang ikhlas dan rela berkorban bagi suaminya. Toh, di syurga pun kita akan bersaing dengan bidadari-bidadari nan jelita. Jangan membuatnya cemburu dengan menguasai suami anda saat ini, padahal anda masih banyak menyakiti suami. Atau jauh dari kata memuaskan atas pelayanan anda.
Ukhty,
Bukan bermaksud menghujat apalagi membenci ..
Hanya sekedar perenungan bersama agar kita semua menjadi hamba yang utama dan diridho Allah. Maafkanlah saya yang dhoif..

Beo Pelupa

Alkisah dalam sebuah training seorang motivator ternama, trainernya berkata,

"Sahabatku yang baik, saya mau berterus terang, tahun-tahun terbaik dalam hidupku, saya habiskan bersama seorang wanita, dan dia bukanlah istriku.."

"Haaaahhhh..."
Serentak semua peserta kaget dan terkejut. Raut wajah mereka menegang. Masa sih..? Gumam mereka nyaris tak percaya.

Taklama sang motivator menambahkan, "ia adalah ibuku.."

Huaahaaaa...huaahaaa...
Sontak semua peserta tertawa diiringi tepuk tangan yang membuat seisi ruangan bergemuruh.

Terkesan dengan acara tersebut dan gaya sang motivator, si Olid tertarik untuk mencobanya di rumah. Malam itu di ruang makan...

Olid : "Mamah sayang, boleh aku berterus terang..."

Istri : "ada apaan sih, Pah? Tentu saja boleh.."

Olid : "Jujur, aku menghabiskan tahun-tahun terbaik hidupku bersama seorang wanita, yang bukan istriku.."

Si Olid berhenti sejenak sambil memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat kalimat terakhir sang motivator training yang tadi siang dia ikuti.
Dasar si Olid yang aslinya memang pelupa, telmi dan rada lola..

Ketika akhirnya Olid membuka mata, dia dapati dirinya berbaring di UGD sebuah Rumah Sakit dengan rahang memar membiru dan kepala bonyok. Belakangan Olid tau bahwa istrinya telah menghajarnya dengan wajan.

---
Don't copy if you can't paste completely. Jangan jadi Beo Pelupa.

(Rosyidi aziz)

Jika berhadapan dengan Orang Bodoh (nasehat Imam Syafi'i)

"Suatu ketika aku pernah mendapat penghinaan dari orang bodoh, namun aku tak menanggapinya. Dia semakin bodoh dan aku semakin bijak. Ibarat batang kayu cendana, semakin hangus dibakar semakin harum baunya.
Jika orang-orang bodoh bertutur kata di depanmu, janganlah engkau tanggapi. Sebaik-baik tanggapan adalah diam.
Jika kau harus berbicara dihadapan mereka, janganlah sampai terbawa arus pendapat yg diciptakan mereka. Dan jika kau berpaling dari mereka, wajah mereka akan tampak pucat pasi."
(Imam Syafi'i)

Wednesday, 2 October 2013

Ketika Poligami Menghampiri

Oleh: Zahrotul Makwa
Penggiat CIIA Divisi Kajian Parenting

Langkah Tiha gontai dan tanpa semangat. Ada masalah berat yang dihadapinya. Suaminya mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat di RS didapatinya suami terbaring tak berdaya. Syukurlah hanya luka ringan. Namun di sisi pembaringan suaminya, Tiha melihat seorang wanita. Setelah ditanyakan pada adik ipar yang saat itu juga berada di sana, ternyata wanita itu adalah istri kedua sang suami. Ya, empat tahun lalu suaminya telah menikah lagi. Keluarga besar sang suami tahu tapi mereka tak pernah tega untuk memberitahunya.
Tiha menangis terus menerus di kamarnya satu pekan ini. Hatinya teramat sakit atas “ketidaksetiaan” sang suami. Perasaannya begitu hancur menghadapi kenyataan itu. Lebih sakit lagi karena ayah kedua buah hatinya menikah diam-diam, dan sekian tahun bungkam. Kalau bukan karena kecelakaan itu mungkin Tiha tak kan pernah tahu kenyataan ini. Kini, ia hanya bisa menangis. Luka hatinya amat menganga. Life doesn’t mean to be beautiful all the time. Namun, ia tak bisa apa-apa menghadapi ujian ini selain mengembalikan semuanya pada Alloh. Tiha pun tak akan pernah menyalahkan suaminya atau madunya, karena itu hanya akan semakin membuatnya lara. Yang perlu dilakukannya sekarang hanyalah pasrah. Ikhlas. Meski ia jarang ngaji, bahkan disibukkan oleh setumpuk pekerjaannya di kantor, Tiha masih ingat pelajaran agama semasa SMA dulu agar sabar menghadapi setiap cobaan.
Tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya, meminta suami untuk menceraikan madunya. Meski jarang mengikuti ceramah, Tiha tahu bahwa hal itu dilarang dalam Islam. Tak juga ia meminta cerai pada suami, karena sebodoh-bodohnya ia, tahu saja bahwa minta cerai dengan alasan yang tidak syari sama saja dengan mengundang laknat Alloh padanya.
” Bukan takdir ini yang menguras air mataku…sebagai wanita biasa tentu aku kecewa atas sikap suamiku…tapi lebih dari itu, mungkin atas segala maksiat dan ketidaktaatan yang aku lakukan sehingga Alloh menegurku. Dan inilah caraNya mencintaiku. Dia ingin aku introspeksi diri. Dia ingin aku menutup aurat tanda patuhku padaNya. Dia juga ingin aku tak terlena dengan pekerjaan sehingga melupakan kewajibanku sebagai ibu dan istri. Dia menghendaki aku berubah menjadi lebih baik. Mungkin inilah jalan syurgaku. Aku akan ikhlas menjalani semua ini. Sesungguhnya suamiku menikah lagi pun atas seizinNya. Yang penting sekarang adalah bagaimana kami menjalani bahtera poligami ini agar sesuai dengan yang nabi contohkan. Membantu suami agar bisa adil terhadap kedua istri. Hatiku sabar atau tidak sabar pun tidak akan mengubah apa pun. Atas kehendakNya semua telah terjadi. Sudah tertulis dalam Lauhul Mahfuz. Aku memilih sabar, semoga dengan seperti ini Alloh mengampuni segala dosaku dan memberiku pahala tanpa batas”, demikian ucapan Tiha saat aku berkunjung ke rumahnya.
Luar biasa ketenangan Tiha di mataku. Hanya perlu waktu satu pekan dirinya bergolak. Menyendiri memikirkan segala yang telah terjadi, dan mengambil keputusan. Padahal Tiha manusia yang amat biasa. Sebelumnya memakai kerudung pun tidak. Apalagi ikut pengajian. Waktunya lebih banyak dihabiskan bekerja dan mengurus anak-anaknya. Hanya satu hal yang aku tahu, selama ini Tiha rajin sholat tahajud dan dhuha. Sifat dermawannya pun pantas diacungi jempol.
Betapa beruntungnya suami Tiha dan madunya. Tak pernah Tiha menyalahkan keduanya. Tiha tetap lembut dengan mereka. Tak pernah sepatah kata cacian Tiha keluarkan. Lisannya benar-benar terjaga. Meski Tiha bukan wanita yang terbina dalam majelis talim. Andai semua wanita seperti Tiha, indahnya hidup bisa berbagi. Jumlah wanita yang tak juga menikah pasti berkurang signifikan. Bahkan mungkin tak ada lagi.
Dari Tiha aku belajar arti keikhlasan. Keridloan atas segala hal yang Alloh tetapkan atas setiap hambaNya. Kerelaan atas apapun yang Alloh berikan. Sekalipun itu amat mengoyak hati, mengiris sembilu, dan mengeluarkan air mata darah. Alloh yang Maha Rahiim mustahil membuat hambanya menderita atas ujian yang Dia berikan. Tak mungkin Dia mendholimi ciptaanNya. Ujian hanyalah caraNya untuk menyeleksi mana manusia yang benar-benar beriman, mana yang hanya dalam ucapan. Cobaan hidup adalah perbuatanNya untuk memilah siapa yang layak masuk syurga, siapa yang pantas di neraka.
Lain lagi dengan yang dialami Sarah. Ia sedang dalam dilema. Seorang pria mengkhitbah untuk menjadikan Sarah sebagai yang kedua. Rasa bingung dan pusing berpadu menjadi satu dalam hati Sarah. Membayangkan menjadi yang kedua saja tidak pernah, apalagi mewujudkannya dalam nyata. Jika boleh memilih, Sarah lebih suka menjadi yang pertama. Istri pertama jika sholihah ia lebih berkesan di hati suami. Istri pertama juga yang dijanjikan syurga bila ikhlas suami menikah lagi. Istri pertama juga yang mendapat simpati masyarakat. Bukan istri kedua dan seterusnya yang bahkan diberi stigma negatif sebagai perusak rumah tangga orang, pengganggu suami orang dan lain-lain. Budaya negeri ini telah begitu mengakar, bahwa wanita yang mau menjadi yang kedua adalah manusia tak berperasaan. Perebut suami orang. Budaya pula yang telah menempatkan istri pertama selalu sebagai pihak yang terdholimi. Tanpa memandang lagi bagaimana sikap dan perilaku istri pertama sesungguhnya. Tanpa melihat lagi bagaimana keadilan suami. Semua digeneralisasi. Segala hal yang benar ada pada istri pertama. Dan yang salah ada pada istri kedua dan seterusnya.
Nilai sosial kemasyarakatan negeri ini memandang poligami sebagai hal yang negatif. Tak segan-segan masyarakat memvonis seorang pria yang berpoligami dengan julukan “tukang kawin”. Justru lupa dan mengabaikan mereka yang sering ke lokalisasi dan bergonta-ganti pasangan sebagai “lelaki bejat doyan zina”.
Maka tak heran kondisi sosial masyarakat berubah. Sekarang bukan hal yang aneh lagi untuk ditemui, dimana-mana banyak wanita berumur yang masih gadis, tak kunjung menikah. Dari wanita level pendidikan tinggi hingga yang rendah. Dari wanita desa sampai kota. Dari wanita karir hingga wanita rumahan. Semua sama, tak pandang bulu.
Kembali pada kasus Sarah. Saat itu perasaan Sarah ingin segera menolak. Bukan karena takut menjadi yang kedua. Hati Sarah benar-benar tidak bisa diajak kompromi untuk bersedia. Tapi Sarah tak ingin sekedar mengikuti perasaan. Apalagi yang mengkhitbahnya adalah pria sholeh pengemban dakwah. Sarah ingin menerima seseorang menjadi suami adalah karena Alloh, menolakpun karena Alloh. Sarah ingat sebuah hadits yang menyatakan bahwa bila datang seorang pemuda yang baik akhlak dan agamanya, maka terimalah agar terhindar dari fitnah dan kerusakan di muka bumi. Hal ini yang kemudian dikonsultasikan pada Alloh. Hingga sesaat setelah melihat foto ikhwan tersebut, Sarah baru bisa mengambil keputusan. Sarah menolaknya. Tak ada chemistry. Tak ada ketertarikan sama sekali. Menolak pinangan bukanlah suatu dosa. Rosululloh pun pernah melakukannya, saat sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khatab meminang Fathimah.
Malam itu juga Sarah memutuskan, besok pagi akan menyampaikan jawaban penolakan. Namun dini hari serbuan sms masuk ke hape Sarah. Rupanya istri pertama meradang. Marah atas sikap suaminya yang taaruf dengan wanita lain. Kalimatnya pedas menghujam hingga hati Sarah. Berbagai macam prasangka dan tuduhan keji terlontar. Kehadiran istri kedua dianggapnya akan mengganggu perkembangan psikologis anak. Merusak harmoni yang telah terbentuk. Tapi Sarah tak percaya. Alloh dan rosulNya lebih tahu. Jika memang poligami sebuah kedholiman, pasti tidak akan pernah ada syariat tersebut dalam Islam. Apalagi buktinya banyak yang berpoligami dan rumah tangganya baik-baik saja. Anak-anak pun telah terbiasa memiliki dua ibu. Bahkan semua anggota keluarga bisa saling bekerjasama dan bersinergi dalam segala hal.
Betapa herannya Sarah, si A istri pria peminangnya adalah seorang aktivis ormas. Kaum wanitanya pun biasa dimobilisasi untuk berteriak di jalan, ” terapkan syariah! ” Aktifitasnya pun biasa mengoreksi kesalahan penguasa. Saat poligami mendapat penentangan dari kaum feminis, mereka pun turun ke jalan membela poligami sebagai bagian dari syariat Alloh. Tapi kini? Memang “kasuistis”. Tapi jika didiamkan bisa menjalar menjadi sebuah virus pada para aktifisnya. Perlu koreksi total. Apalagi ketika penolakan atas keinginan suami untuk menikah lagi berubah menjadi tindakan tidak terpuji dan melanggar hukum syara. Lebih miris lagi ketika suami telah menikah lagi tanpa sepengetahuannya, sang aktifis berubah menjadi “satria baja hitam” alias hitam hati dan perbuatannya. Tanpa pernah mau sedikitpun memahami alasan atas pilihan perbuatan suami. Ternyata, poligami ketika terjadi pada diri sendiri berubah menjadi sesuatu yang harus ditolak. Berbagai alasan yang sebetulnya tak masuk logika pun dijadikan sebagai dalil pembenaran. Slogan “Terapkan syariah” seolah hanya ditujukan untuk orang lain. Seakan hanya untuk hukum syara yang lain saja, bukan poligami. Poligami boleh untuk orang lain, tapi tidak untuk suami sendiri. Perempuan lain boleh dipoligami, tapi tidak dengan diri sendiri. Maha benar Alloh dalam segala firmanNya, ” Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3)
Belajar dari dua wanita saat menyikapi poligami, yaitu Tiha yang wanita biasa dan si A wanita aktivis ormas yang lantang menyerukan perubahan sistem membuatku makin mengerti. Bahwa pemikiran dan perilaku seseorang tidak ditentukan dari mana ia berasal. Menjadi aktifis dakwah pun bukan jaminan ketundukkan total pada syariatNya. Nyatanya banyak perilaku pengemban dakwah kalah dengan mereka yang biasa saja. Bahkan dalam kasus poligami, banyak aktifis dakwah yang kalah dengan para istri Eyang Subur yang sekuler.
Keikhlasan memang tidak bersumber dari seringnya ikut pengajian. Ketundukkan totalitas pada aturan Alloh memang tidak diukur dari banyaknya kitab yang dikaji. Keridhoan dan kesabaran atas taqdir Alloh memang tidak berasal dari seberapa sering dan lantangnya seseorang turun di jalan menyerukan penerapan aturanNya di muka bumi. Tidak sama sekali.
Keikhlasan berasal dari hati yang salim. Qolbu yang senantiasa takut pada Alloh. Juga kesadaran diri bahwa suatu saat pasti akan mati, kembali ke haribaan illahi dan berpisah dengan suami. Mempertanggungjawabkan segala kata dan perbuatan di dunia. Keikhlasan didapatkan manakala memahami bahwa hidup adalah ujian. Sunatulloh, manusia akan terus menerus diuji sepanjang hidupnya. Baik ujian kenikmatan maupun kesusahan. Namun begitu sesungguhnya manusia pasti mampu melaluinya. Sebagaimana firman Alloh, ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS Al Baqarah [2] : 286).
Allah SWT juga berfirman,“ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2] : 155-157).
Atau seperti sabda  Rasulullah SAW, “Sesungguhnya pahala yang besar itu, bersama dengan cobaan yang besar pula. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan musibah kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang murka, maka murka pula yang akan didapatkannya.” (HR. Tirmidzi). Rasulullah SAW  bersabda :  “Tiada henti-hentinya cobaan akan menimpa orang mukmin dan mukminat, baik mengenai dirinya, anaknya, atau hartanya sehingga ia kelak menghadap Allah SWT dalam keadan telah bersih dari dosa (HR. Tirmidzi)
Ketika suami menikah lagi…lagi…dan lagi… semoga wanita memilih jalan ikhlas dan sabar. Tidak sabar dan tidak ikhlas pun tidak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Tidak akan  menjadikan lebih tenang dan bahagia. Justru sebaliknya.
Ketika poligami menghampiri semoga wanita bisa mengelola rasa. Menautkan segala rasa hanya pada CintaNya. Menyadari bahwa jika ia atau suami kembali pada Alloh, kebersamaan pun akan berakhir. Hanya sementara menjadi pendamping suami di dunia. Seorang istri yang amat mencintai suami pernah menyatakan, saat suaminya menikah lagi ia pun merasa lara. Namun saat suaminya wafat, lara yang dialaminya berlipat-lipat perihnya. Wallohu’alam